KOMPAS
Selasa, 29 Juli 2008
TEROPONG, halaman 34
JAKARTA GREAT SALE
Mungkinkah Jakarta Saingi Singapura?
R ADHI KUSUMAPUTRA
Jakarta Great Sale 2008 berakhir pada hari Minggu (27/7). Setelah digelar selama satu bulan sejak 27 Juni, pesta diskon Jakarta ini mampu mencapai target omzet sekitar Rp 6 triliun. Pada masa depan, mampukah Jakarta Great Sale menyaingi Great Singapore Sale?
Untuk saat ini harapan itu masih terlalu tinggi dan sulit dicapai. Sebab, siapa pun tahu Great Singapore Sale (GSS) betul-betul digarap secara profesional dan terpadu. Dukungan penuh Pemerintah Singapura mampu membuat GSS menjadi salah satu agenda wisata yang ditunggu-tunggu.
GSS dipadukan dengan agenda wisata lainnya, seperti Singapore Arts Festival, Singapore Food Festival, Singapore Heritage Festival, dan atraksi wisata lainnya. Pusat aktivitas GSS tak hanya di kawasan Orchard Road, di mana banyak orang Indonesia suka suasana pedestrian lebar dengan puluhan pusat perbelanjaan. GSS juga meluas ke Marina Bay, tempat banyak wisatawan menghabiskan malam dan menikmati suasana tepi sungai yang kini sudah bersih.
Suasana berbelanja yang menyenangkan ini dilengkapi dengan kenyamanan dalam melakukan akses transportasi karena siapa pun mengakui, mass rapid transit (MRT) Singapura termasuk yang terbaik di dunia, yang menjangkau semua wilayah di kota-negara itu.
Bagaimana dengan JGS?
Nah, bagaimana dengan Jakarta Great Sale? Mampukah JGS menggaet wisatawan mancanegara agar mau berbelanja dalam pesta diskon di Jakarta? Sampai penyelenggaraan JGS ke-10 tahun 2008, JGS masih membidik wisatawan nusantara atau lebih tepatnya masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. JGS masih sebatas slogan pesta diskon, tetapi belum digarap maksimal.
Kondisi ini diakui oleh Suryadi Sasmita, yang terlibat penyelenggaraan JGS sejak awal, tahun 1999. Bahkan, Suryadi pernah kecewa pada sikap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang belum satu suara mendukung JGS. Gubernur (waktu itu) Sutiyoso sudah menyetujui keringanan pajak reklame bagi sponsor yang mendukung JGS untuk spanduk-spanduk yang dipasang di seputar Jakarta, tetapi pada kenyataannya, Pemprov DKI tetap menagih pajak reklame. Insentif yang dijanjikan hanya janji kosong belaka.
Keadaan ini menyiratkan dukungan setengah hati dari Pemprov DKI Jakarta. Bagaimana JGS dapat menyaingi Singapura jika dukungan pemerintah setengah-setengah? Sebab, jika kita ingin belajar dari GSS, justru sinergi pemerintah dan swasta yang membuat GSS menjadi daya tarik Singapura selama ini.
JGS 2008 sebetulnya minim biaya promosi. Ini diakui Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Arie Budhiman. Bahkan, tahun ini Pemprov DKI sama sekali tidak memberi kontribusi biaya promosi.
Wajar jika gaung JGS belum terasa ke mancanegara. Jangan harap banyak orang asing tahu ada JGS, seperti mereka tahu ada Great Singapore Sale, Malaysia Mega Sale atau Hongkong Great Sale. Sebab, badan pariwisata asing rutin memasang iklan di media-media di Indonesia. Bukan hanya itu, Singapore Tourism Board rajin mengundang jurnalis Indonesia agar GSS dilaporkan dalam media masing-masing.
Ketua Panitia Pelaksana JGS 2008 Benjamin Mailool mengakui target utama JGS masih tetap wisatawan nusantara. Untuk memasang iklan di media asing atau mengundang jurnalis asing ke Jakarta, panitia JGS masih berpikir ulang, mengingat anggaran promosi yang terbatas.
Tidak kalah
Uniknya, meski dalam persiapan tidak maksimal pun, JGS 2008 tetap mampu mencapai target dengan omzet Rp 6 triliun. Jumlah pengunjung JGS 2008 juga naik sampai 25 persen dibandingkan dengan JGS 2007. Kondisi riil ini dipengaruhi oleh dibukanya sejumlah mal papan atas, seperti Pacific Place di kawasan Sudirman Center Business District, Grand Indonesia di kawasan Bundaran HI, Senayan City di kawasan Senayan, dan Pluit Junction di kawasan CBD Pluit.
Empat pusat perbelanjaan baru ini meyakinkan kita sebenarnya Jakarta sangat layak menggelar JGS yang membidik target wisatawan mancanegara dan nusantara. Vice President Luxury Shopping Mall Pacific Place Dianne Pearce bahkan yakin Jakarta dapat menyaingi Singapura karena sebenarnya kualitas mal-mal di Jakarta tidak kalah dengan mal-mal di negeri singa itu. Singapura dapat membuat GSS seperti sekarang dalam waktu 15-20 tahun.
Program JGS yang digelar Senayan City dengan midnight sale dan Plaza Indonesia dengan midnight shopping, kata Roy Mandey, event organizer, salah satu faktor membeludaknya pengunjung. Diskon gede yang ditawarkan Debenhams, Seibu, sampai brand Mango membuktikan JGS cukup mengena di hati masyarakat Indonesia yang ”gila belanja”.
Kualitas mal-mal di Jakarta saat ini dianggap sebanding dengan mal-mal di Singapura, Malaysia, Hongkong. Lihatlah misalnya Grand Indonesia, pusat perbelanjaan dan rekreasi dengan luas terpakai 110.000 meter persegi yang menghadirkan nuansa kawasan beragam dari suasana Timur Tengah sampai Oriental. TB Gramedia bahkan untuk kali pertama menampilkan wajah desain ”mewah” dan menghadirkan kafe di sini.
Pacific Place dengan penyewa brand-brand terkemuka mencari pasar pembelanja menengah atas. Supermarket Kem Chiks menjadi salah satu daya tarik orang asing datang ke Pacific Place. Sementara itu, Senayan City memikat sebagai tempat makan dan nongkrong.
Di pojok pertigaan Jalan Sudirman-Jalan Pintu Satu Senayan, baru dibuka mal gaya hidup, FX-Generation, yang menonjolkan tempat hang out dan clubbing. Mal yang dikelola Grup Plaza Indonesia ini pun jadi incaran penikmat hidup yang dapat nongkrong hingga pukul 02.00 pada akhir pekan. Suasana Orchard Road Singapura dan Bukit Bintang Kuala Lumpur dapat ditemukan di FX.
Sebetulnya dengan ”modal” mal-mal yang secara kualitas tidak kalah dengan mal-mal di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Hongkong, JGS dapat bersaing dengan pesta-pesta diskon di berbagai negara itu. Persoalannya, adakah niat menjadikan JGS agenda wisata Jakarta yang ditunggu banyak orang? Gubernur Fauzi Bowo yang pernah menjabat Kepala Dinas Pariwisata tentu lebih paham bagaimana membuat JGS destinasi wisata Jakarta.
Namun, sayangnya, sejauh ini belum ada sinergi antara maskapai penerbangan, kalangan perhotelan, pengusaha restoran, pengusaha taksi, dan pengelola mal. Semua masih berjalan sendiri dengan ego masing-masing. Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Budi Karya Sumadi berharap pusat rekreasi keluarga itu juga dapat menjadi salah satu destinasi wisatawan yang datang ke JGS.
Jaringan hotel internasional, seperti Accor dan Aston, ataupun jaringan hotel nasional, seperti Santika, dapat diajak dalam program JGS. Maskapai penerbangan nasional, pengusaha taksi, pengusaha restoran, patut dilibatkan. Betapa dahsyatnya JGS jika semua bersinergi.
Tiga koridor baru bus transjakarta yang beroperasi September mendatang membuat jangkauan transportasi massa makin luas. Mungkin ini bisa membantu Jakarta mengatasi persoalan kemacetan lalu lintas, sambil menunggu MRT Lebak Bulus-Dukuh Atas beroperasi pada tahun 2014, sesuai janji Gubernur Fauzi Bowo.
Memang dibutuhkan sinergi terpadu agar JGS pada tahun-tahun mendatang menjadi atraksi wisata Jakarta yang ditunggu-tunggu. Tak ada kata lain kecuali sinergi!