Tag Archives: Konferensi Sister Cities International

Program Kota Kembar Mampu Jalin Persahabatan Antarkota di Dunia

KOMPAS
Jumat, 22 Aug 1997
Halaman: 18
Penulis: KSP

PROGRAM KOTA KEMBAR, MAMPU JALIN
PERSAHABATAN ANTARKOTA DI DUNIA


Masa depan kita tergantung pada hubungan yang dijalin dengan
bangsa-bangsa di dunia. Sejak didirikan, Sister Cities International
(SCI) telah berusaha memperkuat jalinan kerja sama dan menaburkan
hubungan internasional yang harmonis dan damai. Dalam era globalisasi,
adalah lebih penting bagi masyarakat untuk mengembangkan hubungan
dengan bangsa-bangsa lain…”
(Sambutan tertulis Presiden AS Bill
Clinton selaku Ketua Kehormatan Sister Cities International pada
Konferensi SCI di San Diego, California, AS, akhir Juli 1997).

SEANDAINYA Dwight D Eisenhower (Presiden AS yang mendirikan
lembaga Sister Cities International-SCI tahun 1956) masih hidup, ia
pasti bangga melihat perkembangan SCI di AS saat ini. Program SCI di
AS tumbuh dengan subur. Sampai Juli 1997, tercatat 1.158 kota-kota di
AS menjalin hubungan sister city (kota kembar) dengan 2.082 mitra
kotanya di 123 negara di mancanegara.

Afiliasi kota kembar antara AS dan bangsa-bangsa lain di dunia di
mulai beberapa waktu setelah Perang Dunia II usai. Program ini
berkembang menjadi inisiatif nasional ketika Presiden Dwight D
Eisenhower menyampaikan gagasan program people-to-people dalam sebuah
Konferensi Gedung Putih pada tahun 1956.

Maksud Eisenhower adalah untuk melibatkan masyarakat dan kelompok
terorganisasi di AS di segala lapisan melakukan diplomasi hubungan
people-to-people, memupuk persahabatan melalui afiliasi kota kembar,
dan mengurangi kesempatan konflik dunia di masa depan.

SCI membawa gerakan nasional untuk pembangunan masyarakat lokal
(kota) dan aktivitas tenaga sukarela ke dalam arena global. Mewakili
1.200 kota, pemerintah daerah (counties), negara bagian (states), SCI
memotivasi dan memberi wewenang pada para profesional kota, pemimpin
masyarakat, dan kaum muda untuk mengadakan proyek-proyek jangka
panjang yang saling menguntungkan, dengan mitra kota kembar di
berbagai negara di mancanegara.

Apa sebenarnya tujuan SCI ? Bagi AS yang mempelopori lahirnya
gerakan ini, SCI antara lain bertujuan mengembangkan persahabatan
antara kota-kota, pemerintahan daerah, negara bagian di AS dengan
wilayah yurisdiksi yang sama di berbagai negara.

Selain itu, menciptakan peluang bagi warga kota untuk menimba
pengalaman dan menjelajahi kebudayaan lain melalui proyek jangka
panjang. Juga menciptakan suasana di mana hubungan ekonomi dan jalinan
perdagangan dapat dikembangkan, diimplementasikan dan diperkuat.

SCI mendorong lingkungan di mana mitra masyarakatnya dapat belajar
lebih kreatif, bekerja dan memecahkan persoalan bersama-sama. SCI juga
bekerja sama dengan berbagai organisasi di AS dan negara lain di dunia
yang memiliki tujuan yang sama.

Di setiap wilayah di dunia, program kota kembar tumbuh dengan
subur dan memainkan peranan penting mendukung pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Kota-kota di AS yang menjalin hubungan dengan
kota-kota lainnya di dunia melalui kesepakatan kota kembar yang
ditandatangani oleh pejabat kota bersangkutan (umumnya wali kota) dan
diratifikasi oleh dewan kota atau yang sejajar.

Untuk menjadi resmi, sebuah hubungan kota kembar harus mendapat
pengesahan dari penguasa lokal (pemerintah kota), dengan dukungan dari
tenaga sukarela masyarakat. Proses dinamis ini memberi kewenangan
kepada semua sektor dalam masyarakat untuk berperan serta dalam arena
global, dan memajukan diplomasi masyarakat pada tingkatan rakyat
biasa.

Konsep Amerika Serikat menggerakkan program kota kembar tentu saja
berbeda dengan negara-negara di kawasan Asia, seperti Indonesia,
Jepang, Korea Selatan dan Republik Rakyat Cina. Menurut Wakil Presiden
SCI Thelma Press kepada Kompas, konsep yang dijalankan AS selama ini
adalah people-to-people. Artinya, masyarakatlah yang menggerakkan
program kota kembar, apakah itu guru, pengusaha, insinyur, tenaga
sukarela. Pemerintah kota dalam hal ini kurang begitu berperan.

Sedangkan di Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya,
pemerintah kota memegang peran dan kunci penting untuk menjalankan
program kota kembar. Yang mana yang terbaik ?

Direktur SCI untuk kawasan Asia-Oceania, John Donaldson kepada
Kompas mengatakan, jalan terbaik adalah kombinasi keduanya. Mengapa
masyarakat tetap penting berperan ? “Wali kota bisa diganti, tapi
masyarakat yang peduli tetap ada,” kata Donaldson. Kerja sama yang
dijalin dapat dilakukan berbagai bentuk, dari hubungan bisnis,
pertukaran pemuda, pelatihan, kesehatan, pertukaran pejabat
pemerintah.

Namun John Donaldson berpendapat pemerintah kota dan masyarakat
harus bekerja sama membangun “kampung dunia”, seperti topik Pacific
Rim Sister Cities International akhir Juli lalu. Pendapat ini juga
dikemukakan Robert Silalahi, Sekjen IULA Asia Pasifik yang juga
pejabat Pemda DKI Jakarta.

“Peranan pemerintah kota juga penting untuk kepentingan resminya.
Pejabat kota dan pejabat kota menandatangani perjanjian, tapi yang
bekerja selanjutnya adalah masyarakat. Ini yang terpenting,” kata
Thelma Press.

Sinergi antara masyarakat dan pemerintah kota akan mampu
memperkuat jalinan kerja sama kota kembar yang kini sudah dilakukan
sebagian besar kota-kota di seluruh dunia. Jepang dan AS misalnya,
sudah memiliki 350 kota kembar. AS dan Cina sudah menjalin sekitar 70
kota kembar, sedangkan AS dan Rusia sekitar 100 kota kembar.

Bagaimana dengan program kota kembar di Indonesia ? Jakarta
sendiri memiliki 12 hubungan kota/propinsi/negara bagian dengan
mitranya. Di antaranya yang hubungannya telah terjalin dengan amat
baik adalah dengan Tokyo, Seoul, Beijing, Rotterdam dan Paris. Dengan
kota-kota inilah, Jakarta menghangatkan kerja sama yang lebih akrab.
(adhi ksp, dari San Diego, Amerika Serikat)

Catatan Konferensi Sister Cities Interbnational: Sudah Waktunya Wali Kota di Indonesia…

KOMPAS
Jumat, 22 Aug 1997
Halaman: 18
Penulis: ADHI KSP

Catatan Konferensi Sister Cities International
SUDAH WAKTUNYA, WALI KOTA DI INDONESIA
BERWAWASAN INTERNASIONAL DAN BERJIWA WIRAUSAHA


KETIKA melihat buku panduan acara Konferensi Sister Cities
International (SCI) ke-41 di San Diego, California, Amerika Serikat
akhir Juli 1997, terlihat sejumlah nama pembicara. Beberapa di
antaranya ternyata wali kota (mayor) di sejumlah kota dunia, selain
sejumlah pakar masalah sosial.

Para wali kota itu bicara soal kerja sama antarkota yang ternyata
sangat penting pada era globalisasi ini. Mereka bicara soal pertukaran
kebudayaan dan kesenian antarbangsa yang mampu menjalin persahabatan
erat, menghilangkan batas-batas yang selama ini mengganjal dalam dunia
diplomatik resmi antarnegara. Ada dua wali kota dari Indonesia yang
hadir, yaitu Wali Kota Ujungpandang Abdul Malik Masry dan Wali Kota
Manado Lucky Karoh, tapi mereka duduk sebagai peserta pendengar.

Meski begitu, Indonesia toh tidak perlu kecil hati. Presentasi
seorang pejabat Pemerintah DKI Jakarta, Drs Robert P Silalahi yang
sehari-hari Kepala Biro Kerja sama Antarkota dan Daerah (Kakda) DKI
Jakarta dan juga dipercaya sebagai Sekjen IULA (International Union of
Local Authorities) Asia-Pasifik yang membahas “Hubungan Kota-Kota
Kembar, Kemarin, Hari Ini dan Esok” cukup mendapat perhatian dan
tanggapan.

Silalahi menyoroti perkembangan hubungan kota kembar, sejak
dicanangkan Presiden AS Dwight Eisenhower tahun 1956 hingga sekarang
dan prediksi di masa depan. Ia berpendapat hubungan kerja sama kota
kembar jika dikelola dengan baik, akan banyak manfaat yang dapat
dipetik. Tidak saja untuk memperluas wawasan dan lebih memberdayakan
kinerja Pemda dalam arti luas, hubungan kemitraan itu juga akan lebih
memberi arti pada hubungan diplomatik yang telah terjalin antara kedua
bangsa.

Mengutip pandangan Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja, Sekjen
IULA Asia Pasifik yang berbicara dalam Forum Pasific Rim SCI ini
mengatakan, “Hubungan diplomatik yang dilaksanakan pemerintah melalui
Deplu bersifat makro, merupakan payungnya, dan hubungan sister cities
merupakan salah satu wujud implementasinya dan dapat memperkuat
akarnya…”

Silalahi juga mengutip pernyataan Presiden RI Soeharto yang
mengingatkan,”…dalam pembangunan kota-kota, pikiran kita juga harus
menjangkau jauh ke depan. Kita perlu menyesuaikannya dengan
perkembangan yang terjadi di sekitar kita dan dunia. Kota-kota kita
harus dapat mengambil manfaat yang menguntungkan dari proses
globalisasi. Dalam kaitan ini, saya harapkan kerja sama antarkota
dengan mitranya di luar negeri dalam bentuk kota kembar harus dapat
ditingkatkan. Pemerintah kota agar terus berbenah diri dan
bersama-sama dengan mitranya di luar negeri menjalin hubungan kerja
sama yang erat…”

Dalam presentasinya yang dilengkapi dengan slide, Silalahi
mengutarakan pandangannya perlu kerja sama kota kembar pada era
globalisasi ini diarahkan pada kerja sama di bidang ekonomi dan
perdagangan. Untuk itu sinergi antara pemerintah lokal (city hall) dan
masyarakat harus semakin kuat.

Pandangan Silalahi ini ternyata seiring dengan presentasi Dr
Richard E Feinberg, Dekan Hubungan Internasional dan Studi Kawasan
Asia Pasifik pada Universitas San Diego, California AS. Feinberg
antara lain mengemukakan dalam era globalisasi, pemerintah kota tetap
memegang kunci penting. Globalisasi bukan lagi sebuah pilihan, tetapi
merupakan kenyataan yang harus dihadapi. “Pemerintah kota sesungguhnya
memiliki kekuatan global yang lebih dibandingkan dari yang kita
sadari,” kata Feinberg.

Presiden SCI Rodger A. Randle mengomentari pandangan Feinberg
hampir mirip dengan pandangan Silalahi ketika Sekjen IULA Asia Pasifik
ini berbicara pada forum yang sama di Boston, AS tahun 1996.
***

MEMANG tak bisa dipungkiri lagi, pada era globalisasi seperti
sekarang, sesungguhnya pemerintah kota (city hall) mempunyai peranan
penting untuk meningkatkan hubungan kerja sama antarkota kembar
(sister city) di mancanegara.

Kota-kota di negara berkembang dapat belajar dari kota-kota yang
sudah maju, apakah itu manajemen transportasi, manajemen pengelolaan
sampah, atau pun aspek lainnya dalam pembangunan perkotaan.

Selain itu, kerja sama kota kembar pada zaman globalisasi, sudah
waktunya diarahkan pada kerja sama ekonomi dan perdagangan. Jika pada
awalnya, hubungan kota kembar banyak berkait pada pertukaran kesenian,
kebudayaan, pendidikan, kaum muda, bantuan tenaga ahli dan konsultan,
maka sudah saatnya kerja sama kota kembar diarahkan pada hal-hal yang
hasilnya lebih konkret seperti kerja sama di bidang ekonomi dan
perdagangan.

Pandangan ini sebenarnya pernah diungkap seorang pengusaha
Indonesia, James T Riady, bos Grup Lippo yang mengatakan,”…kita
harus lebih banyak mengubah mind set (pola pikir) Pemda-pemda. Mulai
sekarang, keberhasilan mereka akan diukur dari bagaimana cara mereka
menarik investasi masuk ke daerahnya, menciptakan lapangan kerja,
mendatangkan investor di sama untuk investasi terhadap infrastruktur
dan sebagainya, juga soal peningkatan pertumbuhan ekonomi mereka di
daerah, peningkatan standar hidup. Dengan demikian, mereka juga aktif
untuk secara bersama-sama swasta mengembangkan daerah. Jadi,
keberhasilan pejabat daerah nanti, mungkin mau tidak mau, di masa
depan harus demikian…”
(Kompas, 25/11/1996).

Bukan tidak mungkin, sebuah kota kecil di Pulau Jawa mampu
memproduksi gaplek yang dibutuhkan kota lainnya di Amerika, atau
sebuah kota kecil di Sulawesi mampu memproduksi hasil kerajinan yang
dapat dijual di Eropa. Tapi potensi daerah-daerah ini tidak atau belum
dilirik oleh pengusaha nasional yang jadi “bapak angkat”-nya.

Seandainya pemerintah kota bersama masyarakat pengusaha daerah
dapat menjalin hubungan kerja sama perdagangan langsung dengan mitra
kota kembarnya, birokrasi yang panjang yang selama ini ada, dapat
dipangkas. Mengapa harus menunggu jasa pengusaha besar, jika pengusaha
daerah dapat melakukannya ? Pemerintah kota akan mampu meningkatkan
PAD (pendapatan asli daerah)-nya dari ekspor daerahnya, membangun
infrastruktur dari PAD yang diperoleh tanpa harus menunggu bantuan
APBN dari pemerintah pusat.

Banyak kota di Indonesia yang memiliki potensi dan kelebihan
masing-masing, mulai dari sektor pariwisata, kerajinan rakyat, hasil
bumi dan sebagainya. Wali Kota yang memimpin daerah pun, harus
berpandangan luas, berwawasan internasional dan berjiwa wirausaha.

Yang masih menjadi pertanyaan, apakah kota-kota di Indonesia sudah
dapat menjalin hubungan dagang langsung dengan kota kembarnya di luar
negeri ? Bagaimana dengan aspek hukum dan peraturan perundangannya ?
Selama masih harus menembus birokrasi panjang, melewati birokrasi
Deplu dan Depdagri, dan jawabannya membutuhkan waktu yang panjang,
sulit rasanya berharap demikian.

Bicara antisipasi era globalisasi, perdagangan bebas di tingkat
ASEAN, Asia Pasifik dan dunia, tentu akan menjadi sia-sia jika tidak
diikuti langkah konkret dan persiapan yang lebih realistis. (Robert
Adhi Ksp, dari San Diego, Amerika Serikat)

Foto: 2
1. Kompas/ksp
DIALOG
Sekjen IULA (International Union of Local Authorities) Asia
Pasifik Robert P Silalahi (kanan) berdialog dengan Presiden Sister
Cities International Rodger A. Randler di sela-sela Konferensi
SCI di San Diego, AS, akhir Juli 1997.

2. RAMBU KOTA KEMBAR
Kota San Diego di AS memiliki rambu khusus yang menandakan hubungan
kota itu dengan sejumlah kota kembar di dunia. Rambu ini berlokasi
di pusat kota San Diego.

Kota Kembar Ujungpandang dan San Diego

KOMPAS
Senin, 04 Aug 1997
Halaman: 9
Penulis: ADHI KSP

KOTA KEMBAR UJUNGPANDANG-SAN DIEGO
SAN DIEGO, KOMPAS –
Kota Ujungpandang di Sulawesi Selatan akan menjalin hubungan kerja
sama kota kembar (sister city) dengan San Diego, California, Amerika
Serikat.

Wali Kota Ujungpandang Abdul Malik B Masry mengungkapkan hal ini
kepada wartawan Kompas Robert Adhi Ksp hari Jumat siang waktu setempat
atau Sabtu (2/8) dinihari WIB di sela-sela Konferensi Sister International
di San Diego, California, AS.

Menurut Masry, ia sudah bertemu dengan Wali Kota San Diego, Susan
Golding di salah satu ruangan konvensi Town and Country Hotel, San Diego.
“Wali Kota San Diego sudah setuju dengan rencana ini,” kata Masry.
Kerja sama kota kembar antara Ujungpandang dan San Diego ini rencananya
akan ditandatangani secara resmi bulan November 1997 mendatang. “Ada
beberapa aspek pembangunan perkotaan yang akan menjadi fokus kerja sama.
Yaitu masalah manajemen transportasi, manajemen sampah dan pelaksanaan
reklamasi pantai,” jelas Wali Kota Ujungpandang itu.

Menurut Masry, ia memilih San Diego karena sama-sama berpenduduk
sekitar satu-dua juta jiwa, dan sama-sama berlokasi di tepi laut. Selain
itu Ujungpandang berencana akan melakukan reklamasi pantai di kawasan
Tanjungbunga seluas 1.000 hektar untuk kawasan permukiman dan pusat bisnis,
dan di Sungai Talo seluas 600 hektar untuk tempat rekreasi sungai dan
marina.

Di samping itu, Ujungpandang juga berniat menjalin kerja sama kota
kembar dengan kota Kangdong-gu di Seoul, Korea Selatan. “Kami diundang
Wali Kota Kangdong-gu berkunjung ke sana dalam waktu dekat ini,” katanya.

Hubungan Sister City, Jakarta Ajukan Tiga Syarat Pada LA

KOMPAS
Senin, 04 Aug 1997
Halaman: 3
Penulis: ADHI KSP

UNTUK HUBUNGAN “SISTER CITY”
JAKARTA AJUKAN TIGA SYARAT PADA LOS ANGELES
Los Angeles, Kompas
Hubungan sister city (kota kembar, kota bersaudara) antara Jakarta
dan Los Angeles yang sejak tiga tahun terakhir kurang mulus, dibahas
dalam pertemuan khusus di kantor Konsul Jenderal (Konjen) RI di Los
Angeles, California, Amerika Serikat, Jumat (1/8) sore waktu setempat
atau Sabtu pagi WIB.

Pertemuan yang dipimpin Kepala Bidang Ekonomi Konjen RI Los
Angeles Chilman Arisman itu, dihadiri President Board of Director Los
Angeles-Jakarta Sister City Assosiation David Lang dan dua stafnya
Neil B Persky dan Gary Shapiro, serta Kepala Biro Kerja Sama Antarkota
dan Daerah (Kakda) DKI Jakarta Drs Robert Silalahi dan stafnya Drs
Catur Laswanto.

Wartawan Kompas, Robert Adhi Ksp melaporkan dari Los Angeles, AS kemarin, tiga syarat yang diajukan Jakarta kepada Los Angeles (LA)
agar hubungan kota kembar yang terjalin sejak 1991 dapat dilanjutkan
adalah lembaga yang mengurusi hubungan kota kembar Jakarta-LA harus
mempunyai akses ke pemerintah lokal (city hall). Lembaga itu harus
mempunyai program yang jelas, dan harus memiliki anggaran.

Menurut Kabid Ekonomi KJRI di LA Chilman Arisman, dari pengamatan
selama ini, pelaksanaan program kerja sama kota kembar Jakarta-LA
banyak menemui kendala, terutama dari kalangan pemerintah setempat
atau Wali Kota Los Angeles. Pihak KJRI-LA sendiri sudah beberapa kali
melakukan pendekatan khusus. “Dukungan Pemda DKI Jakarta dengan ujung
tombaknya Biro Kakda, tidak diimbangi dengan dukungan serupa dari
Kantor Wali Kota Los Angeles,” kata Arisman.

Ketika perjanjian kerja sama kota kembar Jakarta-LA ditandatangani
tahun 1991, Wali Kota LA dijabat Tom Bradley. “Namun setelah Richard
Riordan menggantikan Bradley sebagai Wali Kota LA sejak tiga tahun
silam, pejabat LA itu kurang melibatkan diri dalam kerja sama kota
kembar LA dengan semua kota, termasuk Jakarta. Pihak kantor wali kota
LA berpendapat, masalah kota kembar cukup ditangani tenaga sukarela
(volunteer) yang ditunjuk, yaitu Margaret Miller. Sementara Dewan Kota
Kembar LA-Jakarta yang dibentuk, ternyata tidak memiliki akses yang
kuat terhadap Wali Kota LA Richard Riordan,” jelasnya.

Sementara itu Kepala Biro Kakda DKI Robert P Silalahi mengatakan,
kerja sama sister city yang dijalin antara Jakarta dan LA kurang baik,
karena perbedaan konsep yang dianut pemerintah. AS selama ini menganut
konsep masyarakat yang harus berperan dalam hubungan kota kembar,
sehingga tak satu pun pejabat pemerintah lokal yang bertanggung jawab
dalam kerja sama ini. Sedangkan di kawasan Asia, seperti Jepang, Korea
Selatan, Indonesia, pemerintah lokal (city hall) memegang peranan
penting.

“Mestinya, meskipun ada perbedaan konsep, jalinan kerja sama kota
kembar Jakarta-LA harus terpelihara. Karena itulah, pentingnya sinergi
pemerintah lokal dan masyarakat berjalan bersama, membangun ‘kampung
dunia’,” kata Silalahi yang mengutip tema pokok Konferensi Sister
International ke-41 di San Diego akhir Juli lalu.

Dinilai berhasil
Sementara itu hubungan kota kembar Jakarta dengan Tokyo dan Seoul
dinilai berhasil. Duta Besar Jepang untuk Indonesia Taizo Watanabe
yang ditanya Kompas di sela-sela Konferensi Sister Cities
International di San Diego, California, AS pekan lalu mengatakan,
hubungan kota kembar Jakarta-Tokyo berhasil. Banyak kerja sama yang
dilaksanakan antarkedua kota, tidak hanya antarpemerintah lokal, tapi
juga antarmasyarakat kedua kota.

Sejak perjanjian kerja sama kota kembar Jakarta-Tokyo
ditandantangani tahun 1989, sudah puluhan kegiatan yang dilaksanakan,
antara lain pertukaran pelajar (homestay), pelatihan tenaga kerja
dalam berbagai bidang keahlian, studi banding pejabat pemerintah lokal
tentang berbagai aspek pembangunan perkotaan.

Sementara itu kerja sama kota kembar Jakarta-Seoul juga dinilai
relatif berhasil. Namun menurut Direktur Eksekutif KLAFIR (Korean
Local Authorities Foundation for International Relations) Seoul
Young-Kook Chun yang ditanya Kompas pekan lalu, jalinan kerja sama
kota kembar Jakarta-Seoul hendaknya lebih ditingkatkan dengan kerja
sama perdagangan langsung.

Hubungan Kota Kembar Diarahkan Pada Kerja Sama Ekonomi

KOMPAS
Jumat, 01 Aug 1997
Halaman: 3
Penulis: ADHI KSP

HUBUNGAN KOTA KEMBAR DIARAHKAN
PADA KERJA SAMA EKONOMI
San Diego, Kompas
Hubungan kemitraan sister city (kota kembar, kota bersaudara) pada
zaman era globalisasi seperti sekarang, sudah waktunya diarahkan pada
kerja sama yang hasilnya lebih konkret seperti kerja sama ekonomi dan
perdagangan, tidak lagi sekadar pertukaran kebudayaan, kesenian,
pendidikan.

Harapan dan keinginan ini terungkap dalam Konferensi Sister Cities
International di San Diego, California, Amerika Serikat hari Rabu
(30/7) waktu setempat atau Kamis (31/7) WIB. Para pembicara yang
menyinggung masalah ini antara lain Dr Richard E Feinberg, Dekan
Hubungan Internasional dan Studi Kawasan Pasifik pada Universitas
California, San Diego; juga Drs Robert P Silalahi, Kepala Biro Kerja
Sama Antarkota dan Antardaerah (Kakda) DKI Jakarta yang juga Sekjen
IULA (International Union of Local Authorities) Asia Pasifik.

Wartawan Kompas, Robert Adhi Ksp yang meliput konferensi itu
melaporkan kemarin, saat ini menurut Dr Richard, warga dunia hidup
pada masa pasar globalisasi. Para pedagang dan penanam modal mungkin
masih dapat memasarkan produk-produknya di pasar dalam negeri. “Namun
dalam waktu singkat, kesempatan memasarkan di pasar internasional
semakin terbuka. Globalisasi bukan lagi sebagai suatu pilihan, tapi
sudah merupakan kenyataan harus dihadapi. Seluruh negara, termasuk
kota dan masyarakatnya, harus mempersiapkan diri menghadapi masa
globalisasi,” kata Richard.

Bagaimana dengan peranan pemerintah kota (city hall) dalam hal
ini, dan di mana pemerintah kota menempatkan diri? “Globalisasi jelas
memiliki dampak lokal. Apa yang dilakukan pemerintah lokal berpengaruh
pada agenda global. Pemerintah kota atau lokal tetap memiliki kunci
penting,” jelas Richard.

Dia mengajak masyarakat dan pemerintah kota bekerja sama untuk
menjalin kemitraan kota kembar dengan tujuan dan hasil yang konkret,
seperti bagaimana meningkatkan perdagangan antarkota, bagaimana
investasi dapat menguntungkan semua warga kota, bagaimana kerja sama
kota kembar dapat melibas perdagangan obat terlarang, pemutihan uang
dan terorisme internasional.

Sementara itu Kepala Biro Kakda DKI Jakarta Drs Robert P Silalahi
yang membahas “Hubungan Kota-kota Kembar, Kemarin, Hari Ini dan Esok”
antara lain mengingatkan, kerja sama antarkota kembar pada zaman
globalisasi, harus mampu pula meningkatkan hubungan perdagangan dan
ekonomi antarkota.

Mengutip sambutan Presiden Soeharto dalam Raker Gubernur
se-Indonesia tahun lalu, Robert Silalahi mengatakan, “Dalam
pembangunan kota-kota, pikiran kita juga harus menjangkau ke depan.
Kita perlu menyesuaikannya dengan perkembangan yang terjadi di sekitar
kita dan dunia. Kota-kota harus dapat mengambil manfaat yang
menguntungkan dari proses globalisasi..
.”

Silalahi juga berpendapat para pengusaha lokal harus didorong
turut ambil bagian secara aktif dalam usaha memperluas pangsa pasar,
dan menarik investasi melalui jaminan kemitraan yang hasilnya dapat
mempercepat pembangunan di daerah.

“Potensi daerah dapat digali lebih dalam mengingat kedudukan
pemerintah daerah sebagai institusi pemerintah yang langsung
berhubungan dengan masyarakat, memiliki akses langsung untuk
menggerakkan potensi tersebut. Dalam hal ini, jalur kemitraan kota
dapat menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan,” kata Silalahi.

Wakil Sekjen Badan Kerja Sama Antarkota Seluruh Indonesia
(BKS-AKSI) Ismail Ibrahim mengatakan, birokrasi yang panjang masih
harus ditempuh untuk dapat berhasil menciptakan hubungan dagang
langsung antarkota kembar. Pengusaha daerah dan pemerintah lokal harus
meminta izin dari Pemerintah Pusat, Depdagri dan Deplu untuk dapat
berhubungan langsung dengan kota di luar negeri. Birokrasi seperti ini
harus dipangkas agar kota-kota di Indonesia tidak semakin tertinggal.

Konferensi Sister Cities Internasional: Masyarakat dan Pemerintah Kota…

KOMPAS
Kamis, 31 Jul 1997
Halaman: 3
Penulis: ADHI KSP

Konferensi Sister Cities International
MASYARAKAT DAN PEMERINTAH KOTA
BEKERJA SAMA MEMBANGUN “KAMPUNG DUNIA”

SAN DIEGO, KOMPAS
Berbagai pandangan dan visi tentang sister city (kota kembar,
kota bersaudara) muncul dalam Konferensi “Sister Cities” Internasional
yang dimulai hari Selasa (29/7) siang waktu setempat atau Rabu (30/7)
dinihari WIB di San Diego, California, Amerika Serikat.

Sejumlah pembicara dari negara-negara Asia termasuk Indonesia
lebih menekankan pada kerja sama masyarakat dengan pemerintah daerah
(local government) untuk meningkatkan hubungan kota kembar. Sedangkan
pembicara dari AS, sesuai kebijakan yang dijalankan selama ini,
menyerahkan kerja sama kota kembar pada masyarakat.

Wartawan Kompas, Robert Adhi Ksp yang meliput konferensi itu
melaporkan dari San Diego, AS, dua pandangan yang berbeda ini mewarnai
isi presentasi dan diskusi konferensi sepanjang hari Rabu kemarin.

Namun tampaknya pandangan pemerintah lokal dan masyarakat harus
bersama-sama bekerja sama membangun jalinan kota kembar, lebih
menonjol. Hal ini juga tercermin dari topik konferensi kali ini yaitu
“Masyarakat dan Pemerintah Kota: Bekerja Bersama Membangun sebuah
Kampung Dunia” (Community and City Hall: Working Together in a Global
Village).

Sesi pertama dengan moderator Presiden Sister Cities International
(SCI) Rodger Randle menampilkan pembicara antara lain Masaharu Koda,
Wakil Sekjen CLAIR (Council of Local Authorities for International
Relations)-Tokyo; George Brown, Wali Kota Darwin Australia; Yu Shi
Lian, Wakil Ketua Asosiasi Hubungan Persahabatan RRC; Ismail Ibrahim
(Wakil Sekjen BKS AKSI-Indonesia); Young Kook-chun, Direktur Eksekutif
KLAFIR (Korean Local Authorities Foundation for International
Relatios)-Seoul; Jorge Soria, Wali Kota Iquique Cile; Rolando M Acosta
Direktur Program Kota Kembar Filipina.

Konsep AS berbeda
Richard Lang, Wali Kota Modesto, California, AS yang berbicara
dalam diskusi lanjutan petang harinya menekankan, hubungan kota kembar
harus betul-betul merupakan aktivitas masyarakat, dan pemerintah tak
perlu ikut campur agar hubungan lebih spontan.

Pendapat Wali Kota Modesto ini mewakili AS, karena selama ini AS
menganut konsep bahwa masyarakatlah yang harus giat membangun hubungan
kota kembar, dan tak perlu campur tangan pemerintah. Pendapat ini
muncul mengacu pada sejarah kota kembar di AS pada masa silam. Tahun
1956 Presiden AS (waktu itu) Dwight D. Eisenhower mendirikan lembaga
Sister Cities International.

Pada saat itu, masa pasca-Perang Dunia II, lembaga itu hanya
menekankan hubungan masyarakat kota dengan kota yang lain. Hubungan
antarnegara belum begitu baik sehingga hubungan antarmasyarakat yang
lebih menonjol. Lembaga Sister Cities ini kemudian menjadi sebuah
gerakan yang dipelopori masyarakat, tanpa campur tangan pemerintah
kota, dan itu terjadi sampai kini.

Namun di kawasan Asia, terutama Jepang, Korea Selatan dan
Indonesia, lembaga sister city melibatkan pemerintah lokal.
Pada era globalisasi, memang ada perubahan pemikiran soal sister
city. Melihat kemajuan teknologi dan keinginan masyarakat multidimensi,
pemerintah lokal melihat sister city merupakan wahana yang bisa
dimanfaatkan pemda untuk menjalin kerja sama antarkota secara lebih
terprogram. Ada kesamaan kebutuhan antarmasyarakat kota untuk bisa
bersama-sama membangun sebuah “kampung dunia” (global village).
Termasuk kebutuhan akan pengembangan akses ekonomi (intercity trade)
yang berdimensi luas.

Pentingnya sinergi, kebersamaan pemerintah dan masyarakat
menjalin hubungan sister city pada masa kini semakin diyakini.
Menurut Sekjen IULA (International Union of Local Authorities)
Asia-Pasifik Robert P Silalahi yang juga Kepala Biro Kerja Sama
Antarkota dan Daerah DKI Jakarta, saat ini Jakarta yang memiliki
hubungan dengan 12 kota kembar, menganut pada konsep sinergi
pemerintah dan masyarakat.