Li Dong Sheng, Wujudkan Mimpi Menjadi Raksasa Dunia

KOMPAS
Jendela
Senin, 09 Agustus 2004

Li Dong Sheng

Wujudkan Mimpi Menjadi Raksasa Dunia

SAAT ini tak ada satu pun perusahaan di China yang memiliki kesempatan lebih baik untuk menjadi perusahaan pertama yang masuk era globalisasi selain TCL. Bayangkan, hanya dalam kurun waktu 20 tahun, TCL mampu membuktikan diri sebagai salah satu raksasa elektronik dunia.

TAHUN 1982 silam, ketika Li Dong Sheng (kini 47 tahun) bergabung dengan TCL, perusahaan itu hanyalah sebuah perusahaan kecil yang merakit tape-recorder, yang lokasinya di sebuah gudang tua. TCL waktu itu salah satu perusahaan kecil yang sebagian dibiayai Pemerintah Kota Huizhou di Provinsi Guangdong, China.

Kini TCL mempunyai lebih dari 29.000 karyawan yang bekerja di sejumlah pabrik di China, Vietnam, Filipina, dan Jerman untuk membuat televisi (TV), telepon seluler, notebook PC, lemari es atau kulkas, dan mesin pendingin ruangan (AC).

Akhir Juli 2004 lalu Li Dong Sheng mengumumkan secara resmi TCL bergabung dengan Thomson, raksasa perusahaan barang-barang elektronik dari Perancis, dengan nama baru, TTE Corporation, gabungan TCL-Thomson Enterprises. Di TTE, TCL memiliki saham 67 persen, sedangkan Thomson 33 persen. Kesepakatan ini mampu membuat TCL mengendalikan sebuah raksasa elektronik Eropa. Ini membuat Li efektif mengawasi pabrik-pabrik TV Thomson di Perancis, Polandia, dan Thailand-dan juga di Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, yang memproduksi TV merek RCA.
Investasi TCL di Thomson ini merupakan contoh yang paling dramatis dari determinasi China.

China memiliki keterampilan kelas dunia dalam dunia manufaktur, dan mereka belajar keterampilan kelas dunia dalam bidang pemasaran dari saingannya, seperti Motorola di China.

APA yang baru dilakukan Li Dong Sheng membuat para pengamat ekonomi menunggu langkah Li selanjutnya. Apakah langkah Li yang melobi Pemerintah China agar kepemilikan saham TCL oleh Pemerintah Kota Huizhou dikurangi akan mampu mendorong dikeluarkannya kebijakan serupa terhadap perusahaan-perusahaan China lainnya?

Pada tahun 1996 sebanyak 80 persen saham TCL dimiliki Pemerintah Kota Huizhou, yang pada awalnya-22 tahun silam-memang mendanai pekerjaan Li dan kawan-kawannya. Lobi Li berhasil. Setelah restrukturisasi Januari lalu, saham Pemerintah Kota Huizhou tinggal 25 persen, sisanya saham publik 38 persen, mitra asing 14 persen, sedangkan saham Li 6 persen.

Arthur Kroeber, editor China Economic Quarterly yang terbit di Beijing, menyebutkan, TCL adalah perusahaan besar China pertama yang kepemilikan saham pemerintahnya di bawah 50 persen. “Jika Li dapat membuktikan bahwa kepemilikan saham pemerintah yang kecil dalam perusahaan berarti pertumbuhan yang lebih cepat dan keuntungan yang lebih banyak, maka pembuat keputusan di China bisa jadi melakukan hal serupa terhadap perusahaan-perusahaan China lainnya,” kata Arthur seperti dikutip Majalah Fortune.

Li Dong Sheng memang berambisi mewujudkan mimpinya menjadikan TCL menjadi raksasa elektronik dunia sejajar bahkan melampaui produk Korea dan Jepang.

Ketika raksasa-raksasa asing, seperti Motorola, Nokia, Toyota, dan General Motors, menanamkan investasi ratusan miliar dollar AS masuk China, hanya sedikit perusahaan China yang mampu mengglobal di mancanegara.
Sebut saja beberapa nama, seperti Haier yang menguasai hampir separuh pasar Amerika Serikat untuk penjualan kulkas kecil dan pendingin anggur, serta memiliki pabrik di Carolina Selatan, Amerika Serikat. Lalu Legend, pembuat desktop PC terbesar ketiga di dunia yang mengubah namanya pada

April lalu menjadi Lenovo untuk memperluas pasar di negara yang tidak berbahasa Inggris. Huawei Technologies, yang membuat peralatan telekomunikasi, menghasilkan lebih dari 1 miliar dollar AS dari ekspornya tahun lalu, dan memiliki aliansi dengan 3Com, Microsoft, Qualcomm, dan Matsushita.

Menurut sebuah studi, tak mampunya perusahaan China masuk ke pasar dunia akibat buruknya jaringan distribusi, pelayanan, dan pemasaran. Menyadari kelemahan itu, para perencana dan eksekutif China menginginkan perubahan. China tidak ingin sekadar menjadi negara yang “dijajah” Korea Selatan dan Jepang dalam penggunaan barang elektronik dan multimedia. China ingin memiliki merek-merek global sendiri yang berpengaruh. Perusahaan-perusahaan China akan belajar bagaimana menjadi perusahaan terbaik dan terkemuka di dunia, seperti yang dilakukan pebasket China, Yao Ming.

Harapan itu bukan omong kosong. TCL, perusahaan elektronik dan multimedia di China, memiliki dana segar dari keuntungan yang diperoleh. Tahun lalu, dalam tiga bulan pertama, TCL meraup laba 169 juta dollar AS dari hasil penjualan 4,2 miliar dollar AS. TCL mengklaim menguasai 19 persen pasar domestik dan satu-satunya produsen TV China yang konsisten menghasilkan laba.

Ketika petinggi Haier dan Lenovo hati-hati melangkah, Li Dong Sheng malah mengambil keputusan yang cepat. “Dari kesepakatan dengan Thomson, saya mendapatkan penetrasi langsung ke dua pasar terkaya di dunia, yaitu Amerika Utara dan Eropa,” kata Li mantap.

Langkah Li itu dinilai “sangat cepat, agresif, dan cerdas”. Namun, ada pendapat miring yang menyebutkan, jaringan penjualan dan pelayanan TCL belum membantu perusahaan itu beroperasi di mancanegara. Teknologi dan kualitas Thomson, mitra TCL, disebutkan belum sebanding dengan kualitas Sony dan Philips. Pada tahun 2003 perusahaan-perusahaan TV dan DVD Perancis merugi lebih dari 100 juta dollar AS.
Namun, Li tetap yakin rencananya dapat terwujud. Mampukah Li membawa TTE menjadi raksasa dunia seperti mimpi dan ambisinya selama ini?

LI adalah seorang penyelamat. Dia bagian dari generasi yang hidup dalam era kekacauan Revolusi Kebudayaan Mao Zedong 1966-1976. Sebagai remaja, Li dibuang dan bekerja di sebuah kios pertanian. Dia masih ingat bagaimana bekerja keras dalam pemancingan ikan, membaca buku secara diam-diam, dan melawan kebosanan. Namun, hingga kini Li mengaku tidak mendendam pada

Partai Komunis. Atas prestasinya sebagai anak muda yang cemerlang dan pekerja teladan, Li kemudian terpilih sebagai anggota delegasi Kongres Rakyat Nasional.

Dalam percakapan sehari-hari, Li Dong Sheng lebih banyak mengutip kata-kata bijak Jack Welch, mantan CEO perusahaan elektronika General Electric (GE), ataupun Louis Gerstner, pendiri IBM, ketimbang ajaran Karl Marx atau Mao Zedong.

Setelah itu, Li melanjutkan pendidikannya di sekolah teknik di Guangdong, provinsi kelahirannya, tempat dia lulus menjadi insinyur. Pada tahun 1982, begitu lulus, dia dan sejumlah rekan insinyur lainnya mendirikan sebuah pabrik kecil yang bergerak di bidang perakitan tape-recorder di kota Huizhou.

TCL dapat berdiri berkat bantuan pinjaman 600 dollar AS dari Pemerintah Kota Huizhou. Saat itu kebijakan ekonomi Pemerintah China mendorong kaum muda China untuk mendirikan usaha kecil dan menengah. Dan Li adalah salah satu pemuda China yang menikmati kebijakan pemerintah tersebut.

Di era “booming” penjualan dan ekonomi China sedang menanjak, Li dan koleganya menggeser produknya masuk ke bisnis telepon. Berawal dari sinilah TCL lalu membangun sebuah jaringan layanan dan penjualan nasional di seluruh China. Pada tahun 1992 TCL memproduksi TV untuk pertama kali.

Tahun 2003, sebelum beraliansi dengan Thomson, TCL sudah mengapalkan 11,5 juta unit TV. Jumlah ini meningkat 43 persen dibandingkan dengan tahun 2002. Dari jumlah itu, 3,8 juta terjual di mancanegara, sebagian besar merek Philips, Thomson, dan Panasonic. Belakangan ini TCL mencoba merebut pasar Asia dengan menjual produk dengan mereknya sendiri. Produk TCL disebutkan menguasai 14 persen pangsa pasar di Vietnam, 8 persen di Filipina. Pengenalan nama TCL mulai dilakukan di India, Pakistan, dan juga di Indonesia.
Li, yang merintis TCL dari bawah dan memimpin perusahaan itu sejak tahun 1997, memang berada di balik layar ekspansi perusahaannya. Dia dikenal sangat agresif dalam dunia pemasaran dan fokus dalam soal keuangan. Pada tahun 1999 Li menjadikan TCL masuk dalam daftar 500 perusahaan kelas dunia yang dikeluarkan Majalah Fortune.

Aliansi dengan Thomson yang diresmikan akhir Juli 2004 lalu dimaksudkan untuk menjadikan TCL salah satu raksasa dunia TV. Merger ini diharapkan membuat TTE lebih efisien dan efektif. Li, yang dalam jumpa pers di Shenzhen memasang “Tomson” di depan namanya, mengakui, memang ada risiko dalam keputusannya menggabungkan TCL dengan Thomson, termasuk adanya perbedaan budaya antara China dan Perancis. “Namun, bagi saya, ini merupakan tantangan yang harus dihadapi,” katanya.
(ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA dari Shenzhen, China)

Tinggalkan komentar