Tag Archives: gelandangan dan pengemis

Ibu Itu Membakar dan "Memakan" Bayinya?

KOMPAS
Metropolitan
Senin, 27 November 2006


Ibu Itu Membakar dan “Memakan” Bayinya?

R Adhi Kusumaputra

Rumah kosong di RT 10 RW 10, Kampung Kelapa Dua, Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, menjadi saksi bisu: apakah benar seorang perempuan tanpa nama, yang baru melahirkan, membunuh bayinya dengan cara membakar, kemudian “menyantapnya”?

Di salah satu kamar di rumah kosong—yang kini telah diratakan dengan tanah—itulah perempuan yang mengaku berasal dari Kebumen, Jawa Tengah, itu tinggal sementara waktu. Kamar berukuran 3 meter X 3 meter itu letaknya di ujung belakang. Dinding tembok rumah penuh coretan vandalis. Sejumlah pemulung acap singgah di sana.

Saat peristiwa terjadi Selasa (21/11) lalu, di kamar itu ditemukan kompor dan korek api. Juga sisa-sisa nasi dan kecap. Sang bayi ditemukan dalam kondisi tidak utuh lagi. Sebagian tubuhnya hangus terbakar.

Entah siapa yang kali pertama melontarkan kata-kata bahwa perempuan itu telah membakar dan memakan bayinya. Kepala Kepolisian Resor Metropolitan Depok Ajun Komisaris Besar Firman Santhyabudi belum dapat memastikan hal itu. Yang pasti, saat ini sudah terbentuk opini bahwa perempuan itu membunuh sang bayi secara sadis: membakar dan memakannya. Tetapi, siapa saksinya?

Merangkak
Selasa, 21 November, pukul 07.30, Usman (41), pemilik warung padang Bareh Solok Indah dan istrinya, Ny Syamsiar (38), baru saja pulang dari pasar. Usman melihat perempuan tanpa nama, yang selama ini dianggap banyak orang sebagai “orang gila”, tergeletak lemah di depan kios Bakmi Jogja.

Perut perempuan itu tidak lagi membuncit seperti sebelumnya. Warga bertanya-tanya, jika bayinya sudah lahir, di mana gerangan sang bayi itu?
Oleh sebagian warga, perempuan itu lalu diminta kembali ke rumah kosong karena kios-kios di sepanjang Jalan Akses UI itu akan segera buka.

Dengan tertatih-tatih, perempuan tanpa nama itu merangkak, kembali ke rumah kosong yang jaraknya sekitar 50 meter. Rumah itu terletak di gang kecil selebar setengah meter. Lokasinya di jalan agak menurun.

Perempuan tanpa nama itu berumur 30-an tahun, tingginya sekitar 165 cm.
Wajahnya lumayan manis dan bersih. Rambutnya panjang sebahu dan sering diikat ke belakang. Dia diketahui tinggal di rumah kosong itu sejak tiga atau empat bulan silam. “Dia sering minta uang kepada warga yang lalu lalang di sekitar jalan ini. Dia mengerti nilai uang,” kata Adi (35), pemilik kios alat-alat listrik.

Guru besar kriminologi FISIP Universitas Indonesia Adrianus Meliala berpendapat, kemampuan numerik seseorang adalah yang paling akhir rusak. “Ini memang ajaib, tetapi memang demikian yang terjadi. Orang kurang waras masih mampu membaca nilai uang, itu wajar,” paparnya.

Adrianus berpendapat, jika benar perempuan itu membakar bayinya, peristiwa ini luar biasa. “Biasanya ibu membuang bayi yang tidak dikehendaki dengan cara membuang ke WC atau ke tempat umum seperti di tempat sampah dan di jalan,” katanya.

Bila benar bayinya dibakar, kata Adrianus, itu artinya ada ketidaksempurnaan cara berpikir pada sang ibu. Dalam bahasa sehari-hari, perempuan itu mengalami gangguan jiwa dan tidak dapat bertanggung jawab secara hukum selamanya.

Firman Santhyabudi mengungkapkan, sejauh ini polisi belum dapat memastikan apakah perempuan tunawisma itu benar membakar bayinya dan memakan daging bayinya. “Ada asas praduga tak bersalah. Polisi tak ingin cepat-cepat menyimpulkan,” ujar Firman.

Polisi meminta dokter RS Jiwa Marzuki Mahdi di Cilendek, Bogor, memeriksa perempuan itu. “Jika dia memakan daging bayinya, harus ada bukti terlebih dahulu. Jika dia membakar bayinya, juga perlu pembuktian. Jadi, kami belum dapat memastikan apakah benar bayi itu anaknya? Apakah tetangga mendengar tangisan bayi? Apakah ketika lahir, bayi itu dalam kondisi hidup?” ujar Firman.

Di lokasi kejadian memang ditemukan kompor dan korek. Tetapi, kata Firman, itu belum dapat disimpulkan apakah perempuan itu sengaja membakar bayinya atau terbakar tak sengaja. “Saat ini pers sudah membentuk opini, ibu membakar dan memakan daging bayinya. Tetapi saya tegaskan, polisi belum menyimpulkan apa pun,” ucapnya.

Lalai tangani gepeng
Satu hal yang pasti dari peristiwa ini adalah kegagalan dan kelalaian pemerintah menangani masalah gelandangan dan pengemis (gepeng).
Wali Kota Depok Nur Mahmudi Isma’il mengakui, program penanganan gepeng di Depok belum efektif dan belum sistematis. Sistem pemerintahan kota belum merespons masalah sosial seperti gepeng. Ia berjanji dalam waktu dekat, gepeng di Depok akan ditangani lebih baik.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Depok Moh Ridwan menyatakan, dalam waktu dekat akan digelar razia gepeng. “Kota Depok belum memiliki panti gelandangan. Kami masih kerja sama dengan panti Palamarta di Cibadak, Sukabumi,” katanya.

Menurut Ridwan, jika pihak RT sudah melapor ke LPM Kelurahan Tugu, yang menjadi persoalan, mengapa pihak kelurahan tak melapor ke instansi yang menangani gepeng.

Mengapa gelandangan dan pengemis dibiarkan berkeliaran, apalagi sendirian dalam keadaan hamil? Mengapa perempuan tanpa nama ini dibiarkan merangkak tanpa tenaga, dijauhi, dan seakan dinistakan dari pergaulan sosial. Siapa yang salah?