Tag Archives: Menulis Itu Mudah

Kolom Blog Adhi Ksp: Menulis Sebagai Hobi, Menulis Itu Mudah

Kolom Blog Adhi Ksp

Menulis Sebagai Hobi, Menulis Itu Mudah
* Catatan Pengalaman Jurnalistik

Judul ini adalah judul catatan saya saat berbicara di depan mahasiswa Universitas Indonesia, Depok, Selasa (6/3) pagi. Saya mendapat tugas dari kantor tempat saya bekerja, Kompas, untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara “talk show penulisan” di kampus FISIP Universitas Indonesia di Depok. Saya senang berbicara di depan adik-adik mahasiswa, untuk berbagi pengalaman jurnalistik.

Selain saya, yang tampil sebagai pembicara adalah novelis pop Endang Rukmana yang sukses dengan novelnya bertajuk “Sakit 1/2 Jiwa” yang mengalami cetak ulang kali keempat hanya dalam waktu delapan bulan. Selain itu juga Olan Girsang yang pernah jadi juara Penulisan Ilmiah Mahasiswa Nasional 2005 dan 2006.

Mengapa menulis itu mudah? Bagi saya, menulis itu hobi, sehingga tentu saja saya anggap mudah dan gampang. Segala sesuatu jika dianggap hobi, tentu akan menjadi mudah, bukan? Nah, saya menekuni dunia jurnalistik ini karena saya memang suka menulis, hobi menulis. Jadi saya sangat menikmati pekerjaan ini. Melakukan perjalanan jauh, menyusuri sungai di Kalimantan Barat dan tidur di belantara Borneo, misalnya, menjadi pengalaman jurnalistik yang berkesan.

Menyaksikan langsung peristiwa “horor” dalam konflik etnis di Kalimantan di lokasi dan bisa keluar dengan selamat, menjadi pengalaman jurnalistik tak terlupakan. Bagaimana bisa lupa? Di mana-mana saya menyaksikan kepala berserakan. Saya sempat mencubit tangan: apakah saya sedang mimpi atau benar ada di alam nyata?

Sungguh, apa yang saya alami dalam konflik etnis Kalimantan tahun 1999 menjadi pengalaman yang tidak mungkin saya lupakan begitu saya. Saya malah bersyukur tidak menjadi gila. Saya “kuat” karena saya sudah terbiasa melihat korban pembunuhan dalam tugas-tugas saya di bidang kepolisian dan kriminalitas sebeluimnya.

Tapi demikianlah. Jika menulis adalah hobi, maka dalam kondisi apapun, saya tetap bisa menulis dengan tenang. Bayangkan, setiap hari saya menyetir sendiri mobil dinas Kompas hingga ke daerah yang dinamakan Paloh (kalau di peta, bentuknya seperti ekor kucing), kemudian kembali lagi ke Singkawang, untuk mengetik berita dan mengirimkannya ke kantor Palmerah Jakarta. Betul-betul dikejar deadline! Tapi saya menikmati pekerjaan yang dikejar-kejar waktu itu dan bisa menulis dengan tenang. Sementara CNN waktu itu punya tim sampai lima orang.

Hanya orang yang punya tekad besar, keberanian dan menyenangi pekerjaannyalah, yang tetap nekad berkeliling Sambas pada saat itu. Bahkan saya masih ingat Prof Parsudi Suparlan dari UI “nebeng” mobil Kompas, melihat korban konflik etnis di salah satu lokasi.

Ketika peristiwa itu meledak pertama kali, saya dihubungi pihak CNN dan BBC. Saya pun tak paham dari mana mereka tahu nomor ponsel saya waktu itu. Lalu ada wartawan Perancis datang ke kantor perwakilan Kompas di Pontianak, dan menyaksikan video yang sempat saya ambil. Mereka datang agak terlambat, sudah mulai tenang dan ingin tahu bagaimana awal peristiwa itu terjadi.Mereka terperangah menyaksikan video itu dan bertanya, mengapa saya tidak menjualnya ke pihak asing? Nanti Anda dapat uang banyak, kata mereka. Saya menjawab, saya tidak akan menjual video itu kepada siapapun. Saya tidak akan menjual bangsa ini kepada orang asing. Lalu wartawan Perancis itu bergumam, “Jarang sekali ada wartawan seperti Anda…”

Menjadi wartawan tentu harus punya idealisme dan nasionalisme. Kalau menjual bangsa sendiri ke orang asing, apa gunanya menjadi jurnalis Indonesia? Kalau saya menjual video eksklusif itu ke media asing, saya tidak bisa membayangkan bagaimana peristiwa horor itu dapat disaksikan oleh miliaran orang di bumi ini, yang mendapat kesan buruk: betapa tidak beradabnya orang Indonesia. Saya tidak memberikan video itu kepada siapapun. Karena saya tak ingin sejarah hitam itu terulang lagi. (Saya akan memasukkan berita-berita dari Sambas itu ke blog ini dalam waktu dekat).

Kembali ke acara di UI. Adik-adik mahasiswa UI ternyata antusias bertanya tentang menulis dan pekerjaan wartawan. Saya tegaskan, jika seseorang menjadi wartawan karena menulis sebagai hobi, bisa dipastikan dia akan menikmati pekerjaannya dalam kondisi sesulit apa pun. Seorang wartawan itu lebih dilihat dari hasil karyanya, karena di sanalah kebanggaan sebagai jurnalis.

Saya mengajak mahasiswa UI untuk terus menulis setiap hari. Misalnya melatih menulis apa saja diweblog atau blog. Biarkan saja jika kurang sempurna sebab bisa direvisi. Tapi usahakan ada yang ditulis setiap hari. Lama-lama Anda akan merasakan bahwa menulis itu ternyata mudah. Jika suatu hari kelak, di antara mahasiswa UI itu ada yang menjadi pejabat negara, menteri, atau bahkan Presiden republik ini. maka catatan di blog itu bisa menjadi dokumentasi yang bisa dibaca masyarakat global, dan akan menjadi semakin berharga jika itu berisi pemikiran sejak mahasiswa.

Bahan tulisan yang membumi bisa dimulai dari hal-hal yang dilihat di sekitar kita, Masalah sampah, kemacetan lalu lintas, narkoba sampai mengulas persoalan negara (misalnya mengapa korupsi di Indonesia tetap merajalela meski ada KPK) dan persoalan luar negeri (misalnya mengapa Singapura menganggarkan pertahanan militernya sangat besar padahal luas negaranya kecil dan penduduknya jauh lebih sedikit dari Indonesia).

Kalau sudah terbiasa menulis di blog, yang bisa dibaca banyak orang dari penjuru dunia, menulis di media massa akan terasa makin mudah. Ini juga berlaku bagi mereka yang akan menulis cerita fiksi ataupun karya ilmiah.

Menulis itu mudah dan gampang jika kebiasaan membaca dilakukan sejak usia dini. Dan itu saya lakukan sejak anak-anak. Demikian juga yang dilakukan Endang Rukmana dan Olan Girsang. Tak mungkin kemampuan menulis itu terjadi secara instan. Pasti ada prosesnya, seperti kebiasaan membaca sejak anak-anak, misalnya.

Jika setiap hari menulis, lambat laun akan terbiasa dan lama-lama menulis itu mudah dan gampang. Banyak bahan tulisan, dan itu bisa dimulai dari hal-hal kecil. Jika sudah terbiasa menulis, Anda akan merasakan betapa nikmatnya menulis itu. Menulis yuk…

(Special thanks for Taufik H Mihardja, Deputy Managing Editor of Kompas Daily)