Tag Archives: Abdul Irsan

Gaya Hidup: Asyiknya Melukis…

Saya jarang bertemu dengan pelukis. Tapi saya penikmat lukisan. Pernah saya bertemu dengan pelukis saat pembukaan pameran lukisan di Hotel Ritz-Carlton belum lama ini. Mereka malah dikenal oleh pemburu lukisan di luar negeri. Kali ini saya bertemu dengan Sri Hadhy, pelukis yang membuka galeri dan kursus melukis di rumahnya.

KOMPAS

Sabtu, 21 Jul 2007
Halaman: 26
Penulis: R. Adhi Kusumaputra

Gaya Hidup
ASYIKNYA MELUKIS…

Oleh R Adhi Kusumaputra

Melukis itu seperti berdoa. Saya bisa melukis kapan saja dan di
mana saja. Sebelum melukis, saya berterima kasih dulu dan bersyukur
kepada Tuhan. Semakin banyak berdoa, lukisan saya makin banyak,”
ungkap pelukis senior Sri Hadhy (66) yang mengaku menikmati hidupnya
sebagai pelukis.

Sri Hadhy yang kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah, ini pun membagi
pengalamannya melukis kepada banyak orang. Dia membuka galeri lukis,
yang ternyata diminati kalangan menengah ke atas.

“Murid saya kini lebih dari 100 orang, berasal dari beragam
profesi, mulai dari diplomat, dokter, bankir, pengusaha, sampai
mahasiswa. Belajar melukis sudah menjadi tren masyarakat metropolitan
seperti Jakarta,” kata Sri Hadhy dalam percakapan dengan Kompas di
galeri lukisnya di Jakarta Selatan, Kamis (19/7) pagi.

Setiap hari Senin dan Sabtu, murid-muridnya datang ke galerinya
di kawasan Warung Buncit untuk belajar melukis dengan benar. Mulai
dari mantan duta besar (dubes) seperti Haridadi Soedjono (mantan
Dubes RI di Kuba) dan Abdul Irsan (mantan Dubes RI di Belanda dan
Jepang) sampai pemilik usaha.

Mengapa belajar melukis diminati? Belinda Rosalina, yang sedang
menyelesaikan program S-3 di bidang hukum dengan spesialisasi HaKI di
Universitas Indonesia, menuturkan, dunia seni lukis lebih bebas,
lebih individual, dibandingkan dengan dunia hukum yang cenderung
lebih teratur dan “keras”.

“Melukis dapat menghilangkan stres,” kata Belinda, nama
panggilan cucu Rooseno itu. Belinda yang belajar melukis sejak kelas
III SMA itu melihat kini banyak orang belajar melukis sebagai gaya
hidup.

Bisa membuat lukisan yang kemudian dipamerkan dalam pameran
merupakan kebanggaan tersendiri. Itulah yang dialami Riva (34), istri
pengusaha di bidang trading itu. Hal yang sama diungkapkan Mimie
R Muslim (43), istri pemilik lisensi jins Lois di Indonesia.

“Ada kebanggaan jika hasil karya lukisan saya bisa dinikmati
banyak orang,” kata Riva, yang sudah tiga kali berpameran bersama
gurunya, Sri Hadhy, dan tujuh kali menggelar pameran bersama pelukis
lainnya.

Riva mengakui melukis sudah merupakan bagian dari gaya hidup
metropolitan, terutama di kalangan menengah ke atas.
Ny Dodie Aritonang, istri pensiunan jaksa tinggi, misalnya,
mengaku beberapa lukisannya dibeli oleh teman-temannya sendiri. Hal
senada disampaikan Ny Rien Handojo, yang mengaku mendapatkan
ketenangan jika menuangkan kuas di kanvas. “Rasanya kangen jika tak
ikut kelas melukis,” kata Rien.

Sri Hadhy menceritakan, kebiasaan muridnya sangat bergantung pada
latar belakang profesinya. Seno (78), dokter bedah, misalnya,
meletakkan kuas dengan hati-hati setelah corat-coret di
kanvas. “Dokter itu mungkin terbiasa meletakkan pisau bedah setelah
operasi. Sangat rapi dan hati-hati,” ujarnya.

Melukis sebagai terapi
Yang menarik, belajar melukis ternyata dapat pula menjadi terapi
bagi mereka yang menderita stroke dan kanker.
Almarhum LB Benny Moerdani, misalnya, ketika mengalami stroke,
diajak belajar melukis. “Pak Benny bisa diajak berkomunikasi dan
tanpa disadari, tangannya bisa digerak-gerakkan setelah menggoreskan
kuas di kanvas selama lebih dari satu jam,” cerita Sri Hadhy.

Contoh lainnya, Kania, murid Sri Hadhy, yang sudah divonis mati
oleh dokter mampu bertahan selama lima tahun. “Almarhumah Kania
merasa terhibur dengan melukis. Dia mengangkat tema-tema religius,
seperti melukis masjid di Turki,” katanya.

Dari nol
Umumnya mereka belajar melukis dari nol, betul-betul tak paham
soal cat dan kuas. Setelah lima kali datang, mereka mulai luwes dan
terampil memegang kuas serta makin percaya diri.

Setelah satu-dua tahun, mereka yang belajar secara rutin dan
berhasil lulus dapat ikut memamerkan hasil karya lukisnya.
Belajar melukis di galeri Sri Hadhy, peserta dikutip biaya Rp
100.000 untuk sekali datang. Waktunya tak dibatasi karena Sri Hadhy
mengaku tak komersial. “Saya lebih berbahagia jika punya banyak
teman. Mereka lah yang membeli koleksi lukisan,” katanya.
FOTO di blog ini foto Sri Hadhy dan sejumlah muridnya yang belajar melukis di rumahnya di Warung Buncit, Jakarta Selatan. Foto oleh R Adhi Kusumaputra/Kompas.